Pendidikan Anak

Belajar dari Kesalahan ; Perjalanan Menjadi Ibu yang Penuh Tantangan

img20171112183343-983358179.jpgSaya dulu mengira, menjadi ibu adalah alamiah. Semua perempuan yang sudah melahirkan, pasti bisa menjadi ibu. Saya juga beranggapan bahwa menjadi ibu adalah hal yang mudah. Melahirkan, menyusui, mengasuh, menyuapi, mendidik, mengasuh, menemani, dan seterusnya. Kenyataan itulah yang saya saksikan sepanjang hidup saya pada perempuan-perempuan di sekitar saya, setidaknya sampai saya melahirkan anak pertama saya.

Keadaan berbalik arah sesaat setelah melahirkan anak sulung saya. Kami yang saat itu tinggal hanya berdua di perantauan dan jauh dari sanak saudara merasa kebingungan setelah kepulangan kami dari bidan bersalin. “Mau diapain bayi ini?” Begitulah kira-kira bayangan kami dahulu. Dan beberapa kesalahan pengasuhan pun terjadi.

Pertama, tidak melewati IMD. Soal IMD ini saya benar-benar tidak mengerti dan memahaminya. Saya baru mengetahui soal IMD setelah saya banyak membaca tentang ASI.

Kedua,pemberian susu formula sebagai pelengkap ASI. Ini juga akibat kekurangtahuan kami tentang ASI. Saya mengikuti langkah bidan tempat saya bersalin, juga anjuran saudara-saudara serta tetangga yang datang menjenguk. Saya yang tidak mempunyai ilmu tentang ASI hanya mengikuti saja perkataan dan saran mereka serta menganggap semua yang mereka katakana adakah benar karena mereka lebih berpengalaman. Setelah mengetahui ilmu memberi ASI, baik itu ASI eksklusif maupun ASi lanjutan, pada anak kedua saya, saya menolak memberikan susu formula bahkan kepada bidan (yang juga menolong persalinan saya yang pertama) saya katakana bahwa saya ingin memberi ASI eksklusif pada bayi kedua saya.

Ketiga,toilet training. Melihat saya yang hanya berdua dengan suami, beberapa saudara memberi saran agar anak saya langsung dipakaikan popok sekali pakai agar saya tidak terlalu capek dan bisa istirahat dengan tenang di malam hari. Saran ini memang ada benarnya. Tapi kemudian saya berpikir dan melakukan pelatihan yang keras pada anak saya yang pertama untuk toilet trainingnya. Seharusnya sejak dini anak tidak selalu dipakaikan popok sekali pakai yang bertujuan tidak hanya untuk toilet trainingnya, tapi juga untuk menjaga limbah popok sekali pakai yang sulit terurai. Lagi-lagi ini menjadi pelajaran penting untuk tidak saya ulangi pada kelahiran anak kedua.

Keempat,melatih membaca pada anak sejak bayi. Ketika saya kuliah dulu saya mengenal metode pembelajaran membaca untuk bayi. Sebagai ibu muda yang terlalu bersmangat, saya mencari banyak sumber bacaan terkait metode tersebut. Saya bahkan membelanjakan kartu-kartu yang berisi kata-kata dan saya bacakan pada bayi kami. Nyatanya, hal tersebut salah besar. Yang tepat adalah menstimulus anak untuk cinta baca sejak dini, bukan mengajarkan baca pada anak sejak dini. Dengan cara apa? Membacakannya buku-buku bacaan bermutu, memberi teladan pada mereka bahwa kita sebagai orang tua adalah orang-orang yang cinta baca, memberi atmosfir cinta buku dan cinta baca melalui desain rumah yang penuh dengan buku, memberi kesempatan pada anak-anak untuk menjelajahi buku di usia dini mereka tanpa rasa takut dan khawatir jika buku dirobek, mengajak mereka ke tempat-tempat yang penuh buku, dan lain sebagainya. Untungnya, kesalahan saya pada poin ini tidak berjalan lama. Saya yang saat itu merasa stres karena melihat bayi yang sudah saya ajarkan membaca berulang-ulang tidak juga merespon dengan baik, akhirnya mencari banyak artikel tentang membaca untuk bayi. Dan artikel yang melarang mengajarkan membaca pada bayi jauh lebih banyak daripada metode membaca untuk bayi.

Dari kesalahan-kesalahan tersebut saya banyak belajar tentang ilmu pengasuhan dan pendidikan. Saya memang sarjana pendidikan, bahkan magister saya adalah pendidikan. Tapi rupanya ilmu-ilmu tersebut tidak memberi jaminan bahwa saya bisa menjadi ibu yang baik dalam pendidikan dan pengasuhan.

Saya kemudian mengetahui tentang pemberian makanan pendamping ASI homemade,pemberian ASI sampai dua tahun, juga tentang menyapih dengan cinta (weaning with love) yang bagi saya sangat luar biasa. Kedua anak saya merasakan pengasuhan dengan ilmu tersebut.

Pada tahap selanjutnya saya pun mengenal homeschooling dan aneka perdebatannya. Dari bacaan saya tentang homeschooling ini saya mempelajari banyak hal. Di antaranya, pertama, bahwa pendidikan sekolah bukan segala-galanya. Ini bukan berarti bahwa sekolah itu tidak penting atau meremehkan lembaga formal yang bernama sekolah. Pembacaan saya tentang homeschooling lebih pada pencarian solusi untuk kelemahan-kelemahan yang ada pada lembaga formal.

Kedua, bahwa pendidikan yang utama ada pada keluarga. Saya bahkan mengambil keputusan bahwa pendidikan nilai-nilai dan prinsip-prinsip utama dalam kehidupan, seperti tentang keimanan, akhlak dan budi pekerti, pencarian bakat dan minat, harus menjadi tanggung jawab kami sebagai orang tua.

Lalu di mana posisi sekolah formal untuk pendidikan anak-anak kami? Sekolah formal adalah pendukung pendidikan rumah kami. Kami memang tidak mengambil jalur homeschooling secara utuh, tapi kami lebih memilih home based education, pendidikan berbasis rumah.

Apa saja langkah-langkahnya? Pertama, kami rumuskan dulu visi keluarga. Visi kami adalah pendidikan. Artinya kami mencintai perubahan ke arah yang lebih baik. Selurh anggota keluarga harus melakukan ini. Bahwa kami hari ini adalah kami yang lebih baik dari hari kemarin, dalam hal ilmu dan keimanan. Itu hanya bisa kami peroleh dari pendidikan.

Kedua, kami menyusun kurikulum pendidikan keluarga, terutama pendidikan anak-anak. Saya sendiri menyusun kurikulum kedua balita kami secara unik dan berusaha menerapkannya pada aktivitas keseharian mereka.

Ketiga, kami membersamai mereka dengan sungguh-sungguh dan membuat portofolio perkembangan mereka.

Keempat, kami berusaha memperkaya wawasan tentang beraneka ragam bakat pada anak-anak agar mereka bisa mengenali bakat mereka sendiri dengan bisa mengembangkannya dan menjadikan bakat tersebut sebagai keahlian yang mengantar mereka pada visi hidup mereka.

Kelima, berdoa.

Itulah catatan saya selama lima tahun menjadi ibu untuk kedua balita saya. Lima tahun perjalanan yang menantang sekaligus penuh makna menjadi ibu yang mengantarkan saya pada lebatnya hutan rimba pengetahuan yang bernama parnting. Saya belum merasa puas karena sejatinya masih banyak ilmu yang harus saya pelajari karena sejatinya raising children raising ourselves.

 

 

 

Leave a comment