Pendidikan Anak

Perlukah Anak Sekolah di PAUD?

Setiap bertemu dengan sanak, kerabat, teman, atau orang yang baru kenal yang ditanya adalah kabar. Setelah tanya kabar, yang menjadi objek pertanyaan biasanya anak. Umur berapa, siapa namanya, dan hal yang sering ditanyakan adalah, ‘sudah sekolah apa belum?’

Saya menjawabnya dengan enteng, ‘belum lah, baru tiga tahun ini.’

‘Tapi kan sayang kalau nggak disekolahin. Sekarang kan banyak PAUD, yang sekolah pun masih kecil-kecil, bahkan ada yang masih satu tahun setengah. Umur-umur segini nih masa-masa emas lho, sayang kalau dilewatkan.’

Begitu komentar yang acapkali terdengar di telinga saya. Saya seperti disudutkan. Itu yang saya rasakan, sih. Etapi, sejak kapan sih ada aturan anak tiga tahun kudu, harus, semestinya udah disekolahin PAUD? Seolah-olah yang tidak sekolah PAUD itu aneh gitu. Di kampung-kampung juga begitu kok. Saat mudik tahun lalu, saat itu Farras umur dua tahun dua bulan lah, anak-anak sepantarannya juga sudah disekolahin ke PAUD. Jadi mereka melihat aneh kepada Farras yang tidak bersekolah. Mungkin di pikiran mereka, orang tuanya aja sekolah tinggi-tinggi kok anaknya nggak sekolah ya. Jadi, orang-orang itu pada heran melihat anak tiga tahun belum sekolah. Nah, apalagi kalau mereka melihat anak-anak homeschooling yang bahkan sampai besar pun mereka tidak sekolah (formal) ya?

Saya sendiri memilih untuk tidak mengirim Farras ke PAUD untuk usia sedini ini. Biar saja orang lain bilang apa. Lha wong masih tiga tahun. Saya tau pendidikan anak usia dini itu penting. Aturannya juga jelas dalam undang-undang. Tapi bukan berarti setiap balita harus diberangkatkan ke lembaga PAUD kan? Rumah juga bisa (dan semestinya tumahlah yang)  menjadi sekolah yang menyenangkan bagi balita. Undang-undang pun melingkupi pendidikan anak usia dini yang diselenggarakan di rumah sebagai bentuk pendidikan informal. Lalu apa sih sebenarnya yang diinginkan dari pendidikan anak usia dini yang sebenarnya?

Secara umum, tujuan pendidikan anak usia dini adalah mengembangkan berbagai potensi anak sejak dini sebagai persiapan untuk hidup dan dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Secara khusus tujuan pendidikan anak usia dini adalah agar anak percaya akan adanya Tuhan dan mampu beribadah serta mencintai sesamanya, agar anak mampu mengelola keterampilan tubuhnya, termasuk gerakan motorik kasar dan motorik halus, serta mampu menerima rangsangan motorik, anak mampu menggunakan bahasa untuk pemahaman bahasa pasif dan dapat berkomunikasi secara efektif sehingga dapat bermanfaat untuk berpikir dan belajar, anak mampu berpikir logis, kritis, memberikan alasan, memecahkan masalah, dan menemukan hubungan sebab akibat, anak mampu mengenali lingkungan alam, lingkungan sosial, peranan masyarakat, menghargai keragaman sosial dan budaya serta mampu mengembangkan konsep diri yang positif dan kontrol diri, anak memiliki kepekaan terhadap irama, nada, berbagai bunyi, serta menghargai karya kreatif. (Novan Ardy Wiyani & Barnawi) (Rangkumanmu tak contoh yo Mil, males buka buku soale. hehehe).

Kalau diperhatikan, semua tujuan itu bisa kok diajarkan di rumah oleh keluarga. Yang faham betul tentang potensi anak kan orang tuanya, belajar beragama juga efektif kalau melalui teladan secara langsung. Saya tidak hendak tidak menyetujui adanya PAUD yang belakangan ini menjamur di mana-mana. Saya juga tidak hendak menghalangi para orang tua mengirim anaknya ke PAUD melalui tulisan ini. Saya juga bukan anti lembaga PAUD. (lha wong saya pernah mendirikan lembaga PAUD je). Yang ingin saya tekankan, pendidikan anak usia dini memang penting, tapi tidak harus di lembaga.

Alasan saya tidak mengirim Farras ke lembaga PAUD ya karena memang usianya masih tiga tahun. Saya ingin dia bebas beraktifitas tanpa harus ada aturan mengikat, karena sebebas-bebasnya lembaga PAUD pasti ada batasannya. Apalagi saat ini banyak lembaga PAUD yang dijalankan secara salah kaprah, misalnya PAUD yang menonjolkan aktifitas akademik melalui calistung dan mengabaikan aspek-aspek lainnya, atau PAUD yang mengharuskan anak hafal sekian surat pendek Al-Quran, sekian hadis, sejumlah doa harian. Bagi saya itu aturan kaku karena lembaga yang bersangkutan harus memenuhi target-target minimal dari sebuah tujuan lembaga.

Lalu apakah berarti saya benar-benar membebaskan Farras dari aturan dan batasan? Tentu tidak dong ya. Sedini mungkin anak harus dikenalkan pada aturan dan tanggung jawab. Bedanya, kalau di suatu lembaga aturan itu bersifat seragam (padahal tiap anak unik dan beragam), sementara di rumah aturan itu bersifat unik mengikuti kepribadian sang anak.

Yang saya lakukan untuk mengetahui potensi Farras adalah membebaskan dia beraktivitas apa saja. Dia menyebutnya bermain. Mulai dari main peran (dagang-dagangan, masak-masakan, tukang-tukangan, dll), bermain buku (membaca/dibacakan cerita atau sekedar melihat-lihat gambar), bermain lego, bermain manik-manik (bisa dijadikan apa saja oleh Farras), bermain di luar (lari-lari, memanjat pohon, bola, sekedar bermain dengan anak-anak tetangga), dan lain-lain. Semua yang dikerjakan Farras disebutnya bermain, kecuali ngaji dan jalan-jalan.

Mengenai tujuan PAUD yang lain, seperti kemampuan menggunakan bahasa dan komunikasi efektif.hal tersebut sebenarnya lebih efektif bila anak mengalami langsung. Anak dilatih berkomunikasi kepada siapa saja, kepada yang lebih tua dengan ungkapan yang sopan, dan kepada yang lebih muda dengan ungkapan yang penuh dengan kasih sayang. Sementara tujuan lain, seperti kemapuan mengenali lingkungan alam, lingkungan sosial, peranan masyarakat, menghargai keragaman sosial dan budaya serta mampu mengembangkan konsep diri yang positif dan kontrol diri, objek seperti ini adalah kehidupan sehari-hari anak. Di lingkungan tempat kami tinggal, terdapat bermacam-macam suku, budaya, agama, dan juga ras. Semua itu adalah sumber pelajaran hidup yang sangat efektif untuk pembelajaran sosialisasi anak.

Lalu timbul pertanyaan yang lain terkait sosialisasi (pertanyaan ini adalah pertanyaan yang biasa didengar oleh para pelaku homeschooling). Banyak yang beranggapan kalau anak tidak disekolahin, maka dia kurang bersosialisasi. Biasanya para pelaku homeschooling hanya tertawa mendengar pertanyaan ini. Dikiranya mereka yang tidak sekolah itu lantas tidak bersosialisasi begitu? Begitu pun jawaban saya. Emangnya kalau anak tidak disekolahin di lembaga PAUD terus anak berdiam diri di rumah saja begitu? Sebenarnya, apa sih tujuan dari sosialisasi? Tidak individualis, kan? Agar anak bisa hidup bersosial dengan baik, kan? Agar anak bisa menempatkan diri dengan baik di tengah-tengah masyarakat, kan? Itu soal ketrampilan hidup, dan sekolah bukan satu-satunya sarana untuk berlatih tentang sosialisasi ini. Kehidupan nyata dalam bermasyarakatlah tempat yang efektif untuk berlatih ketrampilan sosialisasi. Di sekolah anak hanya bertemu dengan teman-teman sebayanya. Sementara di masyarakat, mereka bisa bertemu teman sebaya, teman lebih tua, teman lebih muda, om, tante, tukang sayur, tukang sampah, tukang rongsokan, petani, pengemis, pedagang di pasar, dan beragam makhluk sosial lainnya. Kalau dari semua tujuan pelaksanaan PAUD itu bisa dilakukan di rumah, berarti sekolah di lembaga PAUD bukan satu-satunya jalan dalam pendidikan anak. Dan itulah yang saya pilih untuk saat ini.

Nah, sudah banyak ya yang saya tulis. Ini sekedar pengantar untuk tulisan tentang berbagai kegiatan Farras di rumah yang sering disebutnya bermain.

2 thoughts on “Perlukah Anak Sekolah di PAUD?”

  1. Anak kedua saya, si Mehdi, desember nanti akan berusia 5 tahun, belum saya sekolahin. Kalau bosan main sama adiknya di rumah, saya titip sama dato’ (kakek)nya di kampung. sekalian biar bisa main di kebun seharian, menanam berbagai macam sayuran dan palawija, juga belajar memellihara unggas. Heheheheheh….

    Like

Leave a comment