Ide dan Campur-campur

Surat Cinta #14: Masih Untukmu, Adikku

Taukah kau Dek, abah begitu terpukul atas kepergianmu. Bagaimana tidak? Kaulah harapannya. Kaulah yang menjadi tumpuan hidup di masa tuanya. Dari kalian tiga bersaudara, tinggal kau saja yang saat itu bersedia menetap di rumah setelah kedua kakakmu merantau. Maka kepergianmu seolah menjadi tali pemutus harapan abah, dan juga ibu tentunya.

Aku ingat, sampai tiga hari setelah kepergianmu, abah hanya keluar kamar untuk menemui tamu yang datang melayat. Selebihnya abah mengunci diri di kamar, membaca Qur’an, berdoa, membaca wirid, dan tidur sebentar-sebentar. Tidak lagi ada senyum apalagi tawa. Sungguh hari-hari itu sangat muram terasa.

Sampai akhirnya ibu bercerita kepadaku kalau abah sangat bersedih dan putus harapan. Seolah tidak penting lagi hidup, toh kedua anak yang tersisa jauh tinggal di rantauan. Aku memang anak mantu di rumah itu. Tapi aku bisa merasakan apa yang abah rasakan. Maka saat itu, aku dan kakakmu langsung membuat keputusan, kami akan pulang kampung untuk menetap dan menemani hari-hari mereka. Aku sampaikan hal tersebut pada ibu.

Taukah kau Dek, setelah abah tau keputusan kami wajah abah kembali bersinar. Abah mulai bisa tersenyum. Abah tidak lagi murung di kamar. Abah keluar rumah, menengok sawah yang sempat terlantar, menyapa setiap orang yang ditemuinya, menggendong kedua ponakanmu itu dengan riang, seolah beliau menghadapi hari yang baru. Aku sendiri terharu menyaksikannya. Kami tidak menyangka bahwa keputusan kami begitu berarti bagi beliau.

Tapi tidak semua orang menganggap baik niat kami Dek. Sebagian dari mereka menyangsikan keputusan kami. Sebagian lagi menyarankan agar keputusan kami dibatalkan. “Abah dan emak dibawa saja ke Lampung.” Begitu kata mereka. Tau apa mereka tentang orang tua yang tidak pernah merantau kemudian disuruh pindah dari tempat lahirnya di usia senja mereka? Apa mereka mengerti bagaimana eratnya ikatan sosial yang telah dibina selama lebih dari setengah abad?

Bagi kami Dek, yang terpenting adalah memberikan yang terbaik untuk abah dan ibu di usia senja mereka. Kalau mereka mengharapkan kami untuk menggantikan posisimu, itulah yang akan kami berikan. Tidak mudah memang Dek karena di rantau ini kami juga sudah mempunyai kehidupan sosial kami sendiri, kami sudha mempunyai rumah sendiri, dan sudah banyak kenangan terbina di sini. Tapi bagi kami, orang tua lebih penting dari semua itu. Toh, kami juga akan kembali ke tempat kami lahir. Toh, niat kami juga untuk berbakti, sesuatu yang insyaAllah baik di mata Allah. Karena itulah kami yakin atas keputusan kami.

Tersenyumlah untuk kami, Dek

Cak-Mbak-Farras-Fawwaz

2 thoughts on “Surat Cinta #14: Masih Untukmu, Adikku”

Leave a reply to eqoxa Cancel reply