Review

[Review] Epistemologi Ibadah

Judul buku : Epistemologi Ibadah

Penulis : Muhammad Baqir Ash Shadr

Penerjemah : Arif Mulyadi
Bacaan pertama saya di bulan ini adalah buku kecil dan tipis yang berjudul Epistemologi Ibadah karya Muhammad Baqir Ash Shadr. Saya sudah lama membelinya dan baru sekarang berkesempatan membacanya (dan masih ada beberapa buku sejenis karya beliau yang belum saya baca). 

Meskipun bentuknya seperti buku saku, tapi untuk membacanya diperlukan konsentrasi yang tinggi karena dalamnya bahasa dan makna di setiap kalimatnya. Buku ini bisa masuk dalam deretan buku filsafat karena dari judulnya saja kita pasti tau bahwa epistemologi adalah cabang dari filsafat.

Jadi apa makna dari epistemologi ibadah? Sebelumnya saya minta maaf kepada pembaca (bergaya seperti penulis besar saja ya, hehehe), karena tidak banyak yang bisa saya tangkap dari bacaan saya. Jujur saja, saya tidak bisa sepenuhnya memahami maksud penulis (atau penerjemah) yang tertuang di dalam buku ini. Jangan salahkan mereka! Ini semata-mata kemampuan nalar saya yang tidak mendalam karena lama tidak diasah (sebagai info tambahan, saya dulu pernah belajar filsafat dan mempunyai kebiasaan membaca buku-buku berat. Itu dulu). 

Yang bisa saya kesankan saat pertama kali membaca judul buku ini adalah buku ini akan membahas sumber-sumber kebenaran ibadah, alasan-alasan ibadah, serta tujuan-tujuan ibadah yang sesungguhnya. Betul saja, hal-hal itu yang dibahas di dalamnya

Hal yang pertama adalah mengapa ritual ibadah bersifat tetap dan tidak berubah kendati zaman telah berganti sedemikian rupa? Jawabannya adalah karena ada Zat yang Mahatetap dan ada sifat dan kebutuhan jiwa manusia yang bersifat tetap sejak zaman dahulu hingga kini. Ibadah merupakan salah satu sarana untuk menghubungkan manusia dengan Tuhannya yang bisa menutupi fitrah “butuh” tersebut. 

Kenapa? Karena manusia butuh untuk terkait dengan Yang Mutlak. Karena kalau bukan bergantung pada Yang Mutlak, manusia akan terus berjalan tanpa henti dan bila ia berhenti pada titik tertentu (yang tidak mutlak, seperti kebenaran sains misalnya) maka ia akan terbelenggu dalam pikiran yang relatif. Kebutuhan kepada Yang Mutlak juga akan menunjukkan jalan manusia pada tanggung jawab dan tujuan yang jelas. 

Di sinilah posisi ibadah. Setelah menyadari kebutuhan akan Zat Yang Mutlak, maka ibadah ritual adalah sarana praktis yang bisa menguatkan perasaan akan kebutuhan tersebut. Ketika lafaz “Allahu Akbar” diucapkan artinya dia mengasepsi keberadaanNya dan menegaskan peolakan pada selainNya. 

Lalu sebenarnya apa sejatinya tujuan dari ibadah? Yang utama tentunya adalah pencapaian ridha Allah. Karenanya, ia tidak terhenti pada kepentingan personal, seperti kebanggan pribadi, mencari perhatian publik, pemenuhan ego, dll. Ibadah yang sesungguhnya adalah jalan pelayanan kepada umat manusia karena setiap perbuatan yang diniatkan hanya untuk Allah sejatinya untuk hambaNya. Bekerja untuk Allah artinya bekerja untuk orang lain dan demi kebaikan semua orang. 

Dalam hal ini, ibadah memerlukan jenis usaha yang berbeda-beda, usaha fisik untuk shalat, usaha psikologis untuk puasa, usaha material untuk zakat, bahkan usaha pengorbanan diri pada jihad perang. Dengan mengetahui hal ini, kita akan mudah membedakan mana orang yang beribadah dengan sungguh-sungguh dengan orang yang beribadah untuk kepentingannya sendiri. 

Inilah makna dari hadis bahwa “segala amal perbuatan dinilai dari niatnya.” Ibadah tidak dinilai dari hasil pencapaian para pelaku ibadah, tapi dinilai dari niat yang melatarbelakanginya, kesucian, keobjektifan, dan penafian dirinya. Contoh mudahnya, orang yang menemukan obat sebuah penyakit berbahaya yang bisa menyelamatkan banyak orang, di sini hal tersebut bisa dinilai ibadah jika niatnya untuk Allah. Sebaliknya ia tidak bernilai apa-apa jika itu hanya untuk kepuasan kepentingan egonya belaka. 

Ada satu poin penting lagi yang bisa saya garis bawahi dalam buku ini, yaitu aspek pendididkan ibadah yang bersifat menyeluruh. Jihad dan zakat adalah pendidikan manusia dalam bentuk sosial dan finansial. Sementara puasa adalah pendidikan pada sisi nutrisi. Wudhu dan mandi besar adalah pendidikan dalam bidang kebersihan. Bila dicermati, pengungkapan ibadah ini mengekspresikan kecenderungan umum pendidikan Islam yang bertujuan meningkatkan manusia dan mengubah setiap perbuatan baik menjadi ibadah. 

Jadi, inti ibadah adalah melayani kehidupan. Didikan dan kesuksesan agama ditentukan olehperluasannya (semangat dan makna) dalam seluruh aspek kehidupan.

Leave a comment