Pendidikan Anak

Ketika Ingin Marah Kepada Anak

sumber gambar di sini

Di sini saya tidak hendak membahas teori atau tips dari buku ini atau buku itu. Ini murni hasil pengamatan saya terhadap lingkungan sekitar tentang kebiasaan orang tua atau orang dewasa membentak atau memarahi anak. Saya katakan kebiasaan karena hampir tiap hari, ya, setiap hari saya kerap kali mendengar teriakan, bentakan, makian, bahkan pukulan fisik yang dilakukan orang tua atau orang dewasa terhadap anak-anak mereka. Kalau sudah begitu, si sulung langsung berkomentar, “Kacian si abang anu ya, kacian adek itu ya, mereka pasti cedih.”

Kalau Anda mau tau dampak buruk (dan saya belum pernah membaca ada dampak baik) dari teriakan, bentakan, makian yang tersampaikan saat marah, Anda bisa baca buku-buku parenting tentang hal ini. Yang ingin saya tuliskan di sini adalah keadaan anak-anak di lingkungan saya yang seperti ‘terbiasa’ dengan perlakuan orang tua mereka yang gemar sekali memarahi mereka.


Si A, sebut saja begitu, yang mempunyai sifat pendiam, seringkali dimarahi sang nenek (ayah dan ibunya bekerja di luar rumah) yang mengasuhnya tiap hari. Saya merasa sang nenek memang keterlaluan ketika marah. Kata-kata kotor seperti tol*l, kampr*t, dan cap negatif seperti nakal, bandel, dan sejenisnya seperti makanan sehari-hari. Ketika dimarahi, sang anak hanya mendengar, karena kalau dia sedikit saja terkesan tidak mendengar sang nenek, maka level kemarahan sang nenek akan naik yang dibumbui dengan adegan mengunci anak, membanting pintu keras-keras, dan membanting ember. Pernah suatu ketika, saya menyaksikan sendiri si anak membentak sang nenek dan mengusirnya dari rumah. “Ini rumahku, mbah pergi sana. Aku tidak mau terus-terusan dimarahi.” Saya pun melihat si nenek menangis keluar menuju rumah saya dan bercerita panjang lebar tentang perilaku si anak. Kalau menurut saya sebenarnya masalahnya tidak fatal. Si anak membuat rumah berantakan, tidak mau tidur, dan tidak mau makan. Sepele menurut saya. Alih-alih sadar akan perilakunya, sang nenek malah mengancam akan mengadukan perilaku si anak kepada ayahnya sepulang kerja. Anda pasti tau ending ceritanya, si anak kembali menerima kemarahan sang ayah ditambah cubitan di paha.


Satu lagi, sang nenek kerap kali memarahi si anak di depan umum. Misalnya saat adiknya jatuh di jalan, sang nenek langsung melabrak si anak dengan suara yang menggelegar. Tanpa banyak kata, si anak yang sebenrnya tidak tau menau perihal jatuhnya sang adik langsung ngeloyor ke rumah dan meninggalkan kegiatan bermainnya begitu saja.


Berbeda dengan si A, sang adik, si F mempunyai perangai yang cerewet, bawel, dan banyak gerak. Si F yang meski belum genap dua tahun, ya saudara-saudara, belum genap dua tahun, juga seringkali menerima kemarahan sang nenek karena hal-hal sepele yang lumrah dilakukan anak-anak, seperti berebut mainan dengan sang kakak, lari-lari-jatuh-benjol di kepala, makan diemut, dan lain-lain. Sepele bukan? Tapi mungkin karena sang nenek capek dengan semua pekerjaan rumah, maka hal-hal yang remeh temeh itu menjadi beban hati dan akhirnya melampiaskannya pada cucu-cucunya. Karena perangainya yang berani, ketika sang nenek marah, maka si F selalu melawannya, mulai dengan melempar sang nenek dengan batu, mendorong sang nenek, atau sekedar mengacuhkannya.


Nah, cerita berbeda datang dari si Z dan si H. Kakak beradik ini terbiasa mendengar suara tinggi ayah-bundanya. Sang ayah dan bunda terbiasa bersuara tinggi meski tidak sedang marah, apalagi saat marah. Parahnya, saat marah, suara tinggi itu berbonus makian, teriakan, dan terkadang pukulan, tendangan, atau bantingan pintu. Menurut saya (ini menurut saya lho ya) persoalan yang menyebabkan kemarahan orang tua ini adalah hal-hal sepele lumrahnya anak-anak, bertengkar, berebut mainan, minta uang jajan, minta bermain PS, dan lainnya. Saking seringnya mendengar suara keras dan kasar, kedua kakak beradik ini tumbuh dengan perangai yang tidak jauh berbeda dengan orang tuanya, sering berkata keras, seperti berteriak sepanjang jalan, membentak, dan juga berkata kasar. Suatu hari saya mendengar si Z yang berusia lima tahun berkata pada temannya dengan nada tinggi, “gue bacok lu!” Astaghfirullah. Saya hanya bisa mengelus dada.


Analisis saya untuk keempat anak itu adalah terkait dampak nyata dan langsung yang terjadi akibat pola pengasuhan yang diwarnai dengan kemarahan. Saya katakan langsung karena saya melihat dampak itu sudah nampak pada perangai dan watak masing-masing anak di usia dini mereka. Si A menjadi pribadi yang pendiam, lambat dalam menangkap pelajaran (saya mengajar ngaji anak-anak tersebut) dan seringkali terlihat bengong. Saya melihat si A itu sulit sekali berekspresi lepas, seperti ada yang dipendam dalam pikirannya. Si A juga terlihat penakut, apalagi saat bermain dengan teman-temannya.


Sedangkan si F, ia tumbuh sebagai anak yang cuek. Si F yang belum genap dua tahun sudah terbiasa mendengar kemarahan sang nenek menjadi cuek saat sang nenek marah. Sang nenek pun seperti kehilangan harga diri di mata bocah itu. Anda bisa bayangkan anak tumbuh dengan tanpa bisa menghormati orang lain, kan?


Nah, untuk si Z dan si H, mereka tumbuh dengan perangai kasar, seperti yang saya tuliskan sebelumnya. Bagi saya, pertumbuhan seperti ini tidak sehat secara kejiwaan di mana anak lebih sering memancarkan aura kemarahan dibanding kebahagiaan.


Lalu, bagaimana dengan saya sendiri? Apakah saya tidak pernah marah? Bukan, dengan menceritakan kasus di atas, bukan berarti saya tidak pernah marah. Dulu, saya gampang sekali marah dan membentak. Saya sadar itu tidak baik, karenanya saya terus saja berusaha menurunkan frekuensi kemarana dan bentakan saya. Perlahan-lahan saya belajar, hingga saat ini saya merasa bahagia karena perangai saya tidak seburuk dulu. Sekali lagi, marah adalah hal yang wajar, manusiawi, dan normal. Hanya saja perlu strategi untuk mengolahnya.


Hal yang saya lakukan ketika saya hendak marah adalah mengenali penyebab kemarahan. Kalau penyebabnya adalah hal-hal yang sepele (untuk mengatakan suatu hal itu sepele atau tidak, diperlukan keluasan hati, kesabaran pikiran, dan memaafkan serta memaklumi kekurangan) seperti rumah berantakan, air tumpah, atau saat anak terjatuh, saya memilih untuk tidak marah. Alasannya simpel, rumah berantakan mainan kan saya yang menyediakan mainannya. Ketika ada air tumpah, kan saya juga yang salah meletakkan air. Ketika anak lari-lari dan jatuh, aduh, saya tidak tega memarahi anak yang terjatuh.


Nah, bagaimana kalau penyebabnya adalah bukan hal sepele, pelanggaran kesepakatan, misalnya. Biasanya saya cemberut dan Farras menangkap penuh ekspresi saya. “kenapa marah, ibu?” Saya katakan padanya, saya kecewa karena dia tidak membereskan mainan setelah bermain. Karena itu saya akan memberikan hukuman dengan menyimpan mainan tersebut beberapa hari. Beres.


Strategi kedua saya adalah memaafkan keadaan dan memaklumi kekurangan. Kalau dulu saya merasa pusing dengan keadaan rumah yang berantakan, maka rasa pusing itu sudah hilang, atau paling tidak berkurang. Asal tidak ada sampah bertebaran saja, saya bebaskan Farras membuat rumah berantakan dengan inovasi-inovasinya, asal dia disiplin dengan kesepakatan, yaitu membereskan mainan-maianannya bila telah selesai.


Strategi ketiga, seperti yang banyak orang sarankan, ambil nafas, berfikir, dan hembuskan. Mengingat-ingat tentang hal-hal indah yang dihadirkan sang anak, memikirkan keadaan anak yang sehat, atau mengingat saat sang anak sakit yang kita rindukan keceriaannya. Hal itu cukup efektif untuk meluluhkan kemarahan.


Hal yang saya haramkan pada diri saya sendiri adalah menyumpahi anak dengan label negatif saat marah, seperti, “nakal kamu ya!” dan lain-lain. Saya sadar betul bahwa label itu akan tertancap kuat pada diri anak, dan seperti yang banyak orang tua katakan, ucapan orang tua itu doa. Hal lain yang saya hindari adalah memukul, menyeret, atau perilaku-perilaku buruk yang bersifat menyakiti fisik. Bagi saya, menyekiti fisik adalah perilaku preman yang tidak berpendidikan. Dan saya bukan preman.


Oh, ya. Satu hal yang membuat saya tidak gampang marah adalah faktor si anak yang sangat peka dan perasa. Ketika melihat muka sang ibu sedikit saja tertekuk atau alis sang ibu beradu, sang anak langsung bertanya, “kenapa ibu marah?” Nah, kalau sudah begitu mau tidak mau harus tersenyum.


Terakhir adalah teladan. Kalau orang tua kerap kali marah-marah, senang membentak, atau terbiasa dengan berteriak, jangan harap anak akan tumbuh menjadi pribadi yang santun, ramah, dan penyabar. Karena itu, saya yakin seyakin-yakinnya, inti dari pendidikan adalah teladan orang tua.


Di akhir tulisan ini saya ingin mengutip tulisan bu Rani Razak di buku Amazing Parenting, “Ingatlah di awal-awal pernikahan ayah dan bunda mengharap kehadiran anak sebagai buah cinta, pelengkap kebahagiaan. Ketika lahir, mereka adalah titipan Tuhan yang dipercayakan kepada ayah dan bunda untuk dididik. Ayah dan bunda pun bertanggung jawab untuk mengembalikan titipan itu kelak dalam keadaan yang terbaik. Mungkin saja, jika anak diberi kesempatan untuk memilih orang tuanya, mereka tidak akan memilih kita.”



Dan ingatlah, Al-Quran senantiasa menyuruh kita untuk berkata lembut, sekalipun sedang marah. Bahkan kepada Fir’aun pun, Nabi Musa diperintahkan berkata lembut [Thaha: 43-44], maka bagaimana bisa kita membentak sang anak?

Leave a comment