Institut Ibu Profesional

Fasilitator 

Setelah program matrikulasi untuk koordinator kota selesai, Bu Septi menawarkan peluang bagi para koordinator kota untuk menjadi fasilitator. Saya yang saat itu hanya melihat peluang tidak berpikir panjang dan langsung menyatakan bersedia menjadi fasilitator.

Masa galau pun datang. Ketika itu saya membayangkan saya harus seperti bu Septi yang sudah sangat profesional menjadi ibu. Ya, memang hakekatnya begitu, mengajarkan sesuatu haruslah menguasai dan benar-benar mengamalkan sesuatu tersebut. Al-Quran pun mengajarkan begitu, “bahwa suatu kecelakaan besar apabila kita mengatakan sesuatu yang tidak kita kerjakan.” Saya benar-benar takut untuk melangkah menjadi fasilitator mengingat apalah diri saya ini, hanya seorang ibu yanh baru belajar dan baru sedikit mempraktikkan ilmu.

Maka saat itu saya memutuskan untuk membatalkan dan mengundurkan diri dari barisan fasilitator. Tapi mungkin memang jalan saya di sini. Saat hendak mengundurkan diri, jaringan internet saya eror. Sampai batas akhir pengunduran diri, internet saya benar buruk. Dan saya pun tercebur di jalan ini. 

Jujur saja, saya setengah hati ketika pertama kali memegang amanah ini. Bukan karena enggan berbagi, tetapi lebih kepada rasa takut akan menjadi pembual, mengatakan apa yang tidak saya lakukan, seperti kecaman Kitab Suci. Kegalauan itu saya sampaikan ke Mbak Yani, partner saya (selain mbak April) di awal-awal perkuliahan. Saya sampaikan ke beliau bahwa saya ini tidak mau dianggap guru. Saya masih ibu yang sedang belajar, sama seperti mereka. Mbak Yani-lah yang meyakinkan langkah saya, dan saya semakin mantap setelah saya menemukan tulisan ini,

Ibarat oase di tengah gurun, pesan dari sang guru ini menetapkan langkah saya untuk maju. Sedikit demi sedikit semangat terbangun. Saya pun menyongsong tiap hari Senin bersama para calon member yang belum saya kenal dengan ceria. Saya juga meminta dukungan suami dalam program ini, saya minta kerja sama suami dalam menemani anak-anak selama saya ada jadwal memandu.

Ah, memandu! Itulah kata yang lebih tepat untuk aktivitas ini. Menemani para ibu hebat dalam pembelajaran mereka, dan pembelajaran saya juga. Ingatan saya kembali ke beberapa tahun ke belakang ketika saya menjadi pemandu di HMI. Tidak lama setelah saya lulus LK II, saya langsung mengikuti SC sebagai syarat untuk menjadi pemandu. Cukup cepat tahapan yang saya lalui saat itu, semacam akselerasi dalam HMI. Sama halnya seperti yang saya lalui di IIP saat ini. Saya memilih program akselerasi dengan mendaftar di tim fasilitator nasional IIP sesaat setelah saya dinyatakan lulus program matrikulasi, padahal tahapan yang seharusnya adalah fasilitator harus selesai perkuliahan Bunda-bunda terlebih dahulu. Tapi peluang akselerasi yang ditawarkan bu Septi menjadi tantangan yang menarij sekaligus membuat galau. 

Di HMI dulu saya bisa dengan mudah memandu karena materi yang saya ampu adalah materi yang saya gemari, saya kaji dengan mendalam, dan bahkan menjadi bahan utama tesis saya. Itu mudah karena materi HMI dalam tataran konsep. Ini berbeda dengan perkuliahan di IIP yang secara keseluruhan tidak hanya berada pada tataran konsep saja. Lebih dari itu, perkuliahan di IIP yang berfokus pada kehidupan nyata menyajikan materi yang harus benar-benar dipelajari, dipraktikkan, dijalani, dan menjadi kepribadian. 

Dalam perkuliahan ini, tidak hanya peserta yang belajar. Saya pun banyak mendapat pelajaran. Istilah bu Septi, menjadi fasilitator itu harus siap ditampar bolak-balik oleh pelajaran-pelajaran kehidupan. Saya pun merasakan hal itu. Ketika saya menyampaikan tentang misi hidup yang harus disusun oleh peserta, tentu saja saya terlebih dahulu menyusun misi hidup saya. Ketika ada materi managemen waktu, terlebih dahulu saya minimal memiliki konsep pembagian waktu, dan lebih baik lagi kalau saya sudah mempraktikannya. Di situlah tamparan-tamparan itu saya rasakan.

Tamparan lebih keras yang saya rasakan adalah saat sesi tanya jawab. (Wah… saya jadi ingin menangis). Karena ini perkuliahan kehidupan, maka persoalan yang banyak ditanyakan peserta adalah problematika nyata yang dihadapi peserta dalam kehidupan mereka, mulai dari mengatasi anak tantrum sampai problem permasalahn rumah tangga suami-istri. Tentu saja saya hanya bisa menjawab hal-hal yang saya anggap benar (dengan referensi), saya lakukan dalam kehidupan saya, dan berusaha seobyektif mungkin bisa memecahkan masalah mereka. 

Banyak sekali pelajaran yang bisa saya ambil dari semua itu. Saya yang tadinya tidak 100% memahami materi-materi matrikulasi sedikit demi sedikit memahami maksud sang Guru. Saya yang tadinya tidak faham jargon “rezeki itu pasti, kemuliaan yang harus dicari,” bisa memahami maksud beliau setelah menjadi fasilitator. Saya yang tadinya tidak menguasai betul apa yanh dimaksud dengan misi hidup jadi lebih mudah menemukan jalan yang benar sesuai kata hati misi hidup saya.

Dari peserta pun saya banyak mendapatkan pelajaran. Sebagian peserta yang lebih tua dari saya banyak membagi pengalaman berharga dalam obrolan santai di kelas. Dari peserta yang lebih muda pun saya bisa belajar semangat yang tinggi mereka dalam belajar.

Akhirnya, saya sampaikan terima kasih untuk Bu Septi atas kesempatan ini. Bagi saya kesempatan ini adalah penambahan jam terbang saya dalam menjalani misi hidup saya sebagai pendidik. “Lakukan saja, nanti Allah akan memahamkan!” Terima kasih atas nasehat tersebut, Bu. Terima kasih untuk partner saya yang banyak memberi bimbingan, Mbak Yani dan Mbak April, yang dengan sabar dan sigap dalam kerja tim. Mbak Yani yang di awal-awal bagai guru bagi saya, mengarahkan langkah saya, bahkan sampai akhir pun banyak membantu saya.

Untuk teman-teman member, (jadi terharu saya), saya sampaikan banyak-banyak terima kasih atas semuanya, pengalaman hidupnya, pertanyaan-pertanyaannya, dan juga semua penghargaannya. Saya hanya ibu yang juga masih belajar, sama seperti Anda-anda semua. Mari terus saling menguatkan dalam belajar, berbagi, dan melayani. Saya minta maaf yang sebesar-besarnya atas segala kekurangan saya selama masa matrikulasi, maaf juga atas kesalahan atau hal-hal yang kurang berkenan selama masa-masa itu. Saya ucapkan selamat bagi yang lulus dan bisa naik kelas. Bagi yang masih belum berkesempatan naik kelas, tetap semangat dalam belajar ya! Akhirnya semoga kita tetap isriqomah dalam belajar!

Last but not least, terima kasih untuk partner jiwa yang mendukung setiap langkah dan pilihan saya. Semoga kita selalu semangat menyongsong hari baru dengan hal yang lebih baik ya, Pak!

Leave a comment