Ide dan Campur-campur

Surat Cinta #9: Untuk Perempuan Seribu Cinta

Entah apa yang kau maknai tentang cinta, pengorbanan, maaf, ketulusan, atau apa? Aku sungguh tidak memahaminya. Begitu pilu kisahmu hingga mata ini pun tak kuasa membendung lara yang kau rasa.

Semua berawal dari pernikahan itu, begitu kisahmu. Menikah dengan laki-laki pilihanmu yang orang tuamu tidak begitu setuju. Kau pun pergi jauh agar tidak banyak masalah antara kedua sisi terpenting dalam hidupmu. Anak pertama, kedua, dan ketiga pun lahir dengan cepat. Kau pikir saat itu anak adalah pengikat kuat hubungan cintamu. Nyatanya kau salah. Cintamu yang kau perjuangkan mati-matian di hadapan orang tuamu itu pergi. Dia berselingkuh saat kau sedang menghabiskan masa nifasmu.

Ah, taukah kau betapa geramnya aku mendengar kisahmu itu? Ingin rasanya kujambak laki-laki biadab yang tidak tau terima kasih itu. Tau kau tetap di sana, di sampingnya.

Andai saja itu satu-satunya masalahmu, mungkin aku masih bisa mengerti. Sayangnya, masalahmu setinggi gunung arjuna. Cinta yang kau maafkan itu masih tidak bisa membawamu di sisi keluarga besarnya hingga kau dihina-dina.

Bahkan setelah anak keempatmu lahir pun cinta yang kau pertahankan itu semakin berulah. Dibiarkannya engkau menjadi orang tua tunggal untuk keempat anakmu. Mereka punya ayah tapi semua urusan pengasuhan dan pendidikannya kau tanggung sendiri. “Kakiku sampai mati rasa terhadap air karena tak berhenti bolak-balik ke kamar mandi.” Tentu saja, empat balita yang belum sepenuhnya mandiri tentu saja merepotkan.

Sampai kisah terakhir yang kau ceritakan, aku tidak lagi bisa menahan marah. “Suamiku tidak lagi bekerja. Kami sekarang hidup dari uang pensiunan dia. Entah sampai kapan?” Ah, rasanya ingin kutendang makhluk tidak bertanggung jawab itu.

Tapi entah, apa yang kau pikirkan hingga kau masih tetap berdiri di sisinya hingga kini?

Dariku,

Sahabatmu

2 thoughts on “Surat Cinta #9: Untuk Perempuan Seribu Cinta”

Leave a comment