Cerita Ringan

Pengalaman Belajar: Madrasah Tsanawiyah

Lulus MI, abah mengirim saya ke pesantren dan bersekolah di lingkungan pesantren. Letak pesantren tersebut tidak terlalu jauh dari rumah, sekitar 20 km dari kampung. Mts tempat saya bersekolah cukup unik dan mungkin satu-satunya Mts dengan model seperti itu di Lamongan. Kami, para siswi masuk pagi, dan siswa masuk siang. Jangankan satu kelas campur laki-laki-perempuan, jam masuk sekolah pun dipisah. Itu sudah tradisi sejak jaman dahulu kala, katanya.

Saya diterima di kelas unggulan. Seperti saat saya kelas satu MI, saya tidak begitu faham apa arti kelas unggulan. Saya sekolah seperti biasanya. Belajar, istirahat, dan kembali ke pesantren di siang harinya. Saya baru tersentak saat pembagian raport cawu satu di kelas satu. Saya mendapatkan rangking 19. Sembilan belas, sodara-sodara! Banyak sekali rangkingmu, Nak, begitu komentar abah. Tidak ada marah, bahkan hanya diketawain.

Kok bisa? Saya baru sadar, saya berada di tengah-tengah manusia berotak penuh di kelas ini. Jumlahnya pun tidak tanggung-tanggung, ada 41. Semua teman saya cerdas, pandai, pintar, atau apalah namanya. Mereka tidak bisa diremehkan. Tidak satu pun. Karena yang berada di urutan 41 pun itu lebih pandai dari anak rangking 1 di kelas lain.

Ada untungnya kelas diklasifikasi berdasarkan keenceran otak seperti ini. Pengajaran di kelas jadi efektif. Hampir semua guru mengajar dengan kecepatan ekspress, tidak ada istilah lambat di kelas kami. Semua anak harus cepat menangkap semua yang disampaikan guru (jaman itu masih dominan cara guru menyampaikan lho ya). Tapi, klasifikasi seperti ini juga berdampak buruk. Adanya jarak dengan kelas lain, tidak adanya saling membantu dalam belajar (yang cerdas dan kurang cerdas, maksudnya), dan tentunya akan menimbulkan kebanggan yang seharusnya tidak perlu. Anak yang dikelompokkan hanya berdasarkan prestasi akademik juga dengan sendirinya belajar mengisolasi diri karena dalam dunia nyata manusia tidak hanya terdiri dari mereka yang cemerlang di sisi akademisnya saja.

Kembali ke cerita tentang pengalaman. Karena usia juga semakin besar, tentu kenangan yang teringat juga lumayan lebih banyak. Saya ingat dengan pelajaran yang selalu membuat semangat juga membuat jantungan, matematika. Hanya kelas unggulan yang pelajaran matematikanya diajar Pak Priyono ini. Beliau sangat mahir dalam mengajar dan membuat suasana kompetitif sehat di kelas. Hampir semua anak di kelas kami menjadi senang pada pelajaran matematika karena caranya.  Kalau sudah senang dengan pejarannya, jangan ditanya bagaimana asyiknya belajar matematika di kelas kami, meski ketegangan setiap jam pelajaran ini juga tidak bisa dihindari.

Mengenai metode kompetitif yang dimakasud, jadi pak guru bermain poin. Setiap memberi rumus baru, pak guru selalu memberi soal. Siapa yang bisa menjawab dalam waktu 10 menit, misalnya, akan mendapat poin. Yang menjawab lebih dari 10 menit, tentu tidak diterima. Di akhir cawu, poin-poin tersebut dikumpulkan dan masuk perhitungan nilai raport. Siapa yang mau bolos coba kalau seperti itu caranya?

Pelajaran lain yang saya suka adalah bahasa Indonesia, bahasa Arab, nahwu shorof. Saya tidak suka IPA, tapi saya suka fisika. Karena persaingan yang ketat, saya tidak banyak mendapat prestasi akademik selama Mts ini. Sekali mendapat rangking satu dan menjadi juara kelas (maksudnya rangking satu dari keseluruhan siswa kelas, bukan hanya satu ruangan saja), dan selebihnya hanya pengisi di 10 besar saja.

Tidak ada kegiatan lain di luar jam formal belajar. Jam istirahat biasanya saya pergunakan untuk ke kantin atau ke perpustakaan. Sayangnya, waktu itu pengelolaan perpusatakaan sekolah buruk, yaitu hanya meminjamkan buku-buku paket yang biasanya dilakukan di awal tahun pelajaran, dan hanya sesekali saja dibuka untuk buku-buku bacaan selain buku pelajaran. Tapi saya ingat, saya mulai mengenal dan membaca beberapa karya sastra itu di Mts ini. Saya membaca Tenggelamnya Kapal van der Wijck, Salah Asuhan, Siti Nurbaya, Di Bawah Lindungan Ka’bah, Salah Pilih, dan diam-diam saya membaca Ateis yang katanya terlarang. Lha wong bukunya ada di perpustakaan sekolah kok dilarang untuk membacanya, pikir saya waktu itu.

Lagi-lagi tidak banyak keistimewaan dari pengalaman sekolah saya. Semua tampak biasa. Anda bisa saja beranggapan bahwa memang semua karena sayanya memang tidak istimewa. Hahaha. Tidak apa-apa. Tapi percayalah, di sisi-sisi lain dari pengalaman saya dalam belajar pastilah ada yang istimewa. Tunggu saja tanggal tayangnya.

Leave a comment