perempuan

Akulah Mei

“Rin, apa sih alasan kamu menolak lamaran Andika? Kurang apa dia? Mau nunggu apa lagi? Kuliah sudah kelar. Pekerjaan sudah mapan. Apa kamu mau jadi seperti Mei, si perawan tua tetangga sebelah itu?”

Tanpa sengaja aku mendengar suara Bu Mardi ketika aku lewat di depan rumahnya. Sakit rasanya hatiku mendengar kata-kata Bu Mardi, meski ini bukan untuk yang pertama kali aku mendengarnya.

Ya. Aku Meimun. Saat ini usiaku sudah 37 tahun. Usia yang ideal sebagai ibu tiga atau empat anak. Kemarin aku bertemu Sany, temanku ketika kami sama-sama duduk di bangku SD yang tengah menggendong anak keempatnya. Lucu sekali. Kelihatannya ia sangat bahagia dengan anaknya. Sedangkan aku?

Aku belum menikah, meski usiaku sudah hampir kepala empat. Akulah Mei, si perawan tua. Begitulah orang-orang di sekelilingku memanggil dan menjulukiku. Dan dengan julukan itu pula, banyak orang tua menjadikan aku wewedhen bagi anak-anak gadis mereka yang enggan segera menikah. Seolah-olah keadaanku ini merupakan kutukan dan sedapat mungkin harus dihindari. “Apa kamu mau seperti Mei, menjadi perawan tua?” Begitu kata mereka.

Sungguh bukan ini pilihan hidupku. Aku bukan tidak ingin menikah. Bukan pula aku hendak mengingkari sunnah Rasul untuk merahib. Aku perempuan normal. Aku juga ingin menikah. Aku ingin membangun keluarga sendiri. Aku ingin menjadi istri yang salehah. Aku ingin menjadi ibu yang baik bagi anak-anakku. Aku ingin mendidik mereka agar menjadi generasi penerus cita-cita peradaban. Cita-cita dan keinginan yang tinggi bukan?

Untuk mewujudkan keinginanku ini, aku tidak berpangku tangan, menunggu bulan jatuh dari langit atau keberuntungan. Aku telah berusaha. Bahkan sudah dianggap tabu oleh adat masyarakatku. 

Dulu, ketika aku masih kecil, aku jarang mempermasalahkan keadaanku yang memang kurang beruntung dengan kondisi fisik yang tidak sempurna. Memang aku terlahir dengan kondisi kulit yang bersisik kasar, tidak halus seperti kebanyakan. Namun, orang tuaku telah mendidikku untuk tetap mensyukuri keadaanku. Merekalah yang terus menerus mendukung dan menjadi sandaranku hingga kini. Ditambah prestasi dan keenceran otakku yang mampu menutupi kekuranganku. Itulah yang menjadikanku tetap percaya diri di depan teman-temanku. Apalagi mereka sama sekali tidak mempermasalahkan keadaan fisikku. Mereka tetap mau menajdi teman-temanku.

Tapi masalah datang ketika aku mulai menginjak dewasa. Sekali lagi kukatakan bahwa aku perempuan normal. Aku mengagumi teman seangkatanku di kampus. Aku beranikan diri, memintanya untuk menikahiku. Aku berjanji akan menjadi istri yang salehah. Tapi ia menolak dengan bahasa yang halus. Ia telah memiliki seseorang di hatinya. Kecewakah aku? Tidak. Aku mengaggapnya sebagai bagian dari hidupku. Sehat dan sakit, senang dan susah, berhasil dan gagal, termasuk diterima dan ditolak adalah kehidupan. 

Hingga usiaku menginjak angka 29, aku belum juga mendapatkan pendamping. Sedangkan teman-temanku, baik teman SD, teman SMP, teman SMA, maupun teman-teman angkatan kuliah rata-rata sudah menikah. Hanya sebagian saja yang belum. Bahkan Tina sudah mempunyai anak tiga. Bapak ibuku tentu sangat risau dengan keadaanku sendiri, melebihi kerisaukanku sendiri. Rasa syukur yang selalu mereka tekankan kepadaku sejak kecil seolah-olah telah habis dikeluarkan. Sisanya, mereka hampir putus asa melihat kondisiku. Kalau sudah begitu, menjadi giliranku untuk kembali mengingatkan mereka tentang pentingnya syukur dalam hidup.

Beberapa kali sudah orang tuaku mengupayakan pernikahanku. Mereka telah “meminta” (baca melamar) laki-laki yang ada di desaku untuk dijadikan pendampingku. Rudi salah satunya. Ia adalah teman gebyuranku di kali ketika aku masih kecil. Tapi bagaimanapun bapak ibu tidak bisa memaksanya untuk menikahiku. Ia menolak lamaran bapak ibu. Toni, seorang guru SD di kampung sebelah juga pernah sempat menjadi calon pendampingku. Ia bahkan sudah menyetujui lamaran bapak ibuku. Hanya saja sehari setelah ia datang ke rumah untuk melihatku, ia tiba-tiba mengurungkan niatnya. Ternyata ada hal besar yang dilewatkan oleh bapak ibuku secara tidak sengaja. Mereka lupa menceritakan kondisiku yang sebenarnya. Inilah yang aku katakana sebagai tabu dalam adat. Karena di kampung ini, tidak patut bila perempuan melamar laki-laki. Kecewakah aku? Tidak. Sekali lagi aku mengaggap ini adalah bagian dari perjalanan hidupku.   

Memang, ada laki-laki yang mengaku bernama Anwar datang ke rumah. Lagi-lagi dia mundur teratur setelah melihatku. Ada pula Rama yang katanya tulus menerimaku, apapun keaadaanku. Sayangnya, tanpa sepengetahuan sahabatku, ternyata Rama sudah beristri. Dengan jujur, Rama menceritakan keadaannya itu kepada aku. Tentu saja aku menolak lamaran Rama. Apalagi kedatangan Rama ke rumahku itu tanpa sepengatahuan istri dan keluarganya. Bagaimanapun aku tidak ingin menyakiti dan merusak rumah tangga orang. Lebih baik aku hidup sendiri tanpa pendamping, daripada aku harus menyaksikan ada perempuan lain yang terluka karena perbuatanku.

Aku sendiri sebenarnya sudah bosan dengan upaya-upaya ini. Hanya saja aku tidak ingin mengecewakan usaha orang-orang yang menyayangiku. Aku hanya ingin menghargai mereka. Perasaanku sendiri? Tentu saja aku malu. Aku harus mengakui bahwa aku memang “tidak laku.” 

Bukan tidak pernah aku mengeluh dengan keadaanku ini. Tidak jarang pula aku menggugat Allah atas kondisiku. “Kenapa aku dilahirkan dengan keadaan seperti ini?” Bahkan aku juga tidak jarang berpikiran untuk mengakhiri hidup karena hidupku hanya menyusahkan orang-orang di sekelilingku saja. Ditambah dengan sikap-sikap orang-orang di sekelilingku yang tidak mengerti aku. Mereka mencemoohku. Mereka menjadikanku bahan pembicaraan, omongan, dan gosip di warung-warung kopi. Kejamnya lagi, ada sebagian ibu-ibu yang tega memperlakukan aku seperti yang dilakukan oleh Bu Mardi. Menjadikan aku alat untuk menakut-nakuti para anak gadis mereka yang menolak untuk segera menikah.

Di tengah keadaan putus asa yang sangat itulah, nasehat bapak ibu selalu menjadi cambuk keras bagiku. Nasehat yang sederhana namun menjadi pegangan yang sangat kuat dalam hidupku. “Yang sabar dan tetap bersyukur ya Nduk! Ingat Allah tidak akan menguji makhluk-Nya melebihi kadar kekuatannya.” Meski aku pernah pula aku mengaggap orang tuaku terlalu naïf dengan nasehat-nasehat itu. “Bicara memang mudah. Yang susah itu prakteknya.” 

****

Kini aku telah dewasa. Separuh perjalanan hidup telah kulalui. Bapak ibuku benar. Tidak sia-sia mereka menasehatiku berulang-ulang untuk sabar dan terus mensyukuri keadaanku ini sebagai bentuk kasih sayang Allah. Bahwa hidup tidak akan berakhir hanya karena hidup membujang. Bahwa hidup itu sangat luas. Aku juga mulai menyadari bahwa aku diciptakan Allah dengan tugas kekhalifahan yang agung. Tugas besar yang diembankan kepada manusia untuk menjadi pemimpin di dunia ini. Dan permsalahan serta kondisiku hanya bagian kecil dari tugas-tugas itu. Karunia Allah tentu lebih banyak  terlimpah dibanding ujian ini.

Allah tentu punya maksud yang agung di balik penciptaan ini. Dan dunia ini adalah tempat cobaan. Siklus kehidupan manusia adalah sebuah ujian dan pertaruhan kualitas hidup seseroang. Apapun situasinya dan siapapun orangnya. Hanya saja manusia sering tidak memahami arti kehidupan yang sesungguhnya. 

Suka dan duka, kaya dan miskin, terhormat dan terhina dalam kehidupan ini barulah sekedar soal ujian tersebut. Kalau saat ini aku berangapan bahwa aku adalah manusia yang paling tidak beruntung di dunia ini, maka aku salah. Adalah juga keliru bila aku beranggapan bahwa kesenangan, kehidupan normal, kebahagiaan, kekayaan, kehormatan, kemualiaan hidup, kenyamanan, ketentraman, kecantikan, atau apapun itu, sebagai bentuk kasih sayang Allah. Demikian juga salah bila aku beranggapan bahwa kesulitan hidup, kemiskinan, atau apapun itu, sebagai penistaan dan penghinaan Allah terhadapnya.

Orang yang hidup secara normal, berkeluarga, mempunyai anak, juga belum tentu bahagia. Sebaliknya, bila kini memang aku ditakdirkan untuk belum menikah, bukan berarti aku harus bersedih dan menganggap ini sebagai kemalangan hidup. Aku yakin Allah punya tujuan di balik ini semua. Dan aku juga tidak berhak menyalahkan keadaanku, apalagi menyalahkan-Nya.

Sama sekali aku bukan orang determinis dalam mengahdapi takdir kehidupan. Aku sangat percaya bahwa Allah itu Mahaadil dalam setiap tindakan-Nya. Sedang takdir bagiku adalah puncak usaha manusia. Dan aku –dalam batas kemapuanku- telah melakukan itu. Aku telah berusaha menemukan jodohku. Hanya saja, nampaknya Allah masih menyembunyikan dia di suatu tempat yang belum terjamah.

Untuk orang lain yang tidak mau mengerti kondisiku, aku hanya bisa mendoakan mereka, agar segera sadar akan arti kehidupan. Aku sendiri akan banyak menutup telinga serta mempertebal muka agar hati ini tidak sakit oleh tindakan-tindakan mereka. Toh kebahagiaanku hanya aku yang bisa menentukan, bukan orang lain. Dan aku hidup bukan karena keinginan orang lain. Aku ingin hidup dengan keinginanku sendiri. Aku akan tentukan dan lakukan tindakan sesuai dengan keinginanku, sejauh Allah meridhai dan tidak mengambil hak orang lain.

Sudah saatnya aku beralih dari keterpurukan dan kesedihanku. Aku memang belum menikah. Aku memang belum melahirkan bayi dari kandunganku. Namun aku mempunyai anak-anak didik yang selalu membutuhkan kehadiranku. Aku memang belum menikah dan belum mempunyai bangunan kelaurga sendiri. Namun keluarga besar Islamku membutuhkan peran dan tanggung jawabku di dalamnya. 

Akhirnya, hanya Allah, Hakim paling adil dalam memutuskan kualitas hidup dan keimanan seseorang. Akhirnya, akupun berhak untuk bahagia. Akulah Mei, si perawan tua.

 

2 thoughts on “Akulah Mei”

Leave a comment