perempuan, Review

[Review] In The Name of Honor

mukhtar mai

Setelah malas menyelesaikan membaca buku Sang Juragan Teh dan Dear Kitty-nya Anne-nya Anne Frank, saya memutuskan untuk kembali membaca buku ini. Buku ini pertama kali saya beli tanggal 27 November tahun 2007 dan saya langsung membacanya sampai habis keesokan harinya. Ingatan saya samar dengan isi buku ini, padahal saat itu usia saya sudah 21 tahun. Yang pasti saya ingat adalah, buku ini bercerita tentang perjuangan perempuan Pakistan yang menjadi korban pemerkosaan atas hak-haknya hingga menjadi tonggak perjuangan perempuan di Pakistan sampai berhasil merubah secara signifikan undang-undang tentang perempuan di negara tersebut.

Lembar demi lembar saya susuri tentang kisah pilu Mukhtar Mai yang diawali dengan keputusan Dewan Desa untuk membalas perbuatan dugaan zina dengan perbuatan yang sama. Alkisah, adik laki-laki Mukhtar Mai, Shakor (12 tahun), dituduh melakukan zina dengan anak perempuan Suku Mastoi yang berusia jauh lebih tua. Belakangan, tuduhan tersebut sama sekali tidak benar dan tidak terbukti. Bahkan sebaliknya, Shakor bahkan teridentifikasi sebagai korban kekerasan seksual oleh para lelaki dewasa.

Liku cerita kasus Mukhtar Mai memang banyak. Singkat kata, sesuai dengan keputusan Dewan Adat, yang belakangan diketahui bahwa keputusan tersebut tidak bulat, Mukhtar Mai harus dihukum, yaitu diperkosa oleh keluarga korban. Mukhtar Mai dan keluarganya dikelabui dengan cara diundang untuk bertemu, yang mana, rencana yang disampaikan adalah Mukhtar Mai meminta maaf di kaki keluarga korban pemerkosaan yang dituduhkan kepada adiknya. Namun ternyata, undangan itu bersifat tipu belaka. Di hadapan Dewan Adat, Mukhtar Mai diseret oleh empat laki-laki, ditelanjangi, diperkosa ramai-ramai, kemudian dipulangkan dengan keadaan yang keadaan setengah telanjang di hadapan 300an penduduk desa. Ia dipermalukan dan dijatuhkan harga dirinya di depan umum. Itulah ‘keadilan’ yang diberikan oleh Dewan Adat.

Seandainya kisah itu hanya berhenti di situ, kemungkinan besar kisah Mukhtar Mai akan tertutup, sama seperti kisah-kisah perempuan lain di Pakistan. Seterusnya, perempuan akan menjadi pihak yang dikalahkan, disalahkan, dan dihukum atas perbuatan yang sama sekali ia tidak lakukan dan tidak ia ketahui.

Jangan bayangkan kejadian ini terjadi berpuluh-puluh tahun silam, ya. Kejadian yang menimpa Mukhtar Mai ini terjadi pada tahun 2002, tahun di mana saya adalah pelajar SMA kelas dua yang sedang asyik-asyiknya menjadi remaja bebas berkarya dan bercita-cita. Tahun 2002 di bumi pertiwi saya, anak perempuan sudah bisa dikatakan mempunyai hak dan kewajiban yang sama dengan kaum laki-laki. Bahkan jauh di ingatan saya, saya sebagai anak perempuan, sekalipun tidak pernah dibedakan hak dan kewajiban saya dengan saudara-saudara laki-laki, maupun sepupu-sepupu laki-laki saya. Abah, ibu, mbah kung, mbah bu, semua menganggap kami sebagai manusia-manusia yang sejajar. Kami sama-sama disekolahkan, dipesantrenkan, dikuliahkan, dan akhirnya kami menikah dengan pasangan kami masing-masing yang kami suka.

Sementara itu di belahan bumi yang sebenarnya tidak terlalu jauh dengan Indonesia, keadaan berbeda 180 derajat. Mukhtar Mai ini janda yang nasibnya sangat malang. Ia menikah dengan laki-laki pilihan keluarganya yang akhirnya bercerai karena sang laki-laki enggan bekerja. Ia kemudian mendapat kasus berat yang kemudian merubah nasibnya dan nasib seluruh bangsanya dengan kejadian di Dewan Adat itu. Cerita selanjutnya adalah kejadian demi kejadian yang harus dilaluinya, yang saya sebagai pembaca saja merasa capek dan lelah mengikuti kisahnya.

Kejadian di depan Dewan Adat itu ternyata dikutuk oleh imam/mullah di suatu khutbah Jumat, di mana ketika itu ada salah seorang wartawan yang menjadi jamaahnya. Sang wartawan tersebut kemudian menulis kisah Mukhtar Mai, menyebarkannya, dan kisah Mukhtar Mai pun menjadi berita nasional, bahkan internasional.

Singkatnya, Mukhtar Mai akhirnya harus menjalani penyidikan, persidangan, gunjingan, kunjungan, wawancara, dan peradilan. Banyak di antara masyarakat Pakistan yang mendukung perlawanan Mukhtar Mai dengan memenjarakan pelaku-pelaku pemerkosaan (yang diawali dengan drama pemalsuan laporan kejadian karena Mukhtar Mai tidak bisa baca tulis). Namun tidak sedikit pula masyarakat yang mengecam karena Mukhtar Mai dianggap telah menyalahi adat dengan melawan kaum laki-laki, bahkan pemerintah sempat memberi kesan sinis karena kasus Mukhtar Mai yang melesat jauh ke dunia internasional.

Peradilan yang berlarut-larut itu menjadikan banyak perubahan di dunia hukum Pakistan. Kaum perempuan yang pada awalnya takut untuk mengangkat kasus-kasus perempuan yang mereka alami menjadi lebih berani angkat bicara. Sementara dalam cakupan yang lebih luas, pemerintah akhirnya merubah undang-undang mereka, yaitu membedakan antara kasus perzinahan dan pemerkosaan dengan aturan yang berbeda.

Sampai di sini saya terbengong kaget. Jadi sebelum tahun 2006, di Pakistan, kasus pemerkosaan itu disamakan dengan kasus perzinahan. Jika ada perempuan yang menjadi korban pemerkosaan, maka ia wajib mendatangkan 4 saksi untuk membuktikannya. Bagaimana mungkin itu terwujud? Korban pemerkosaan adalah perempuan atau orang-orang lemah yang setelah kejadian, jangankan berani mendatangkan 4 saksi, untuk melapor kepada yang berwajib saja dibutuhkan keberanian bertingkat-tingkat. Jika di jaman itu sudah ada visum, kenapa tidak menggunakannya sebagai alat bukti?

Termenung lama saya membayangkan keadaan di sana. Tahun 2006 undang-undang itu pun akhirnya disahkan. Mukhtar Mai memenangkan kasusnya dan menjadi simbol kemenangan kaum perempuan di sana. Mukhtar Mai juga mendapat bantuan dari banyak pihak untuk membangun sekolah untuk anak-anak perempuan di desanya dan sekitarnya. Sungguh perjuangan panjang yang melelahkan itu akhirnya membuahkan hasilnya.

Nah, kita di sini apakah masih tidak bersyukur atas keberagamaan kita yang mudah ini?

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Leave a comment