Jurnal Guru

[H#30] Sejarah bukan Hafalah

WhatsApp Image 2020-04-22 at 17.20.59Setiap mahasiswa yang saya tanya tentang tingkat kesulitan yang paling tinggi dalam rumpun mata pelajaran PAI jawabannya adalah sejarah kebudayaan Islam. Ketika saya tanya kembali apa alasannya, jawabannya selalu karena sejarah adalah hafalan.

Pengalaman saya, saya sangat menyukai pelajaran sejarah ketika di MI. Ketika di Mts dan Aliyah, mata pelajaran ini tidak lagi menarik karena faktor guru yang mengajar. Ketika kuliah, saya belajar sejarah pada Prof. Mulyadhi Kartanegara dan Prof. Abdul Hadi WM di samping dosen2 sejarah lainnya. Namun, dua dosen inilah yang membuat saya kembali menyukai sejarah, terutama sejarah peradaban Islam.

Alasannya, beliau menyajikan sejarah dengan sederhana, namun membuat saya seperti berada di tengah-tengah kejadian yang sedang diceritakan. Alasan lainnya adalah kedua dosen ini adalah penulis sejarah dan wawasan sejarahnya luas.

Maka ketika saya S2 dan berguru pada Prof. Azyumardi Azra, kesukaan saya pada sejarah semakin mengental karena keluasan pengetahuan beliau, terutama sejarah Islam Nusantara. Saya pun kembali ingin mengkaji tentang Islam Nusantara dan membeli buku-buku Ahmad Baso.

Kenapa sih sejarah itu mengasyikkan?

Mungkin terlalu teoritif jika saya katakan bahwa dengan belajar sejarah kita akan mengetahui kejadian masa lampau dan mengambil hikmah dari kejadian tersebut. Sangat umum sekali jika itu jawabannya. Saya akan menjelaskan langsung pada contoh agar pentingnya mengkaji sejarah itu sangat bermanfaat.

Sebelumnya saya mohon maaf bila dalam contoh ini saya menggunakan sebuah organisasi tertentu.

Beberapa orang melayangkan kritik terhadap tradisi orang NU yang masih melestarikan beberapa budaya yang dulunya merupakan strategi Wali Songo dalam berdakwah menyebarkan Islam di Nusantara. Alasannya, zaman Walis Songo dan zaman sekarang sudah jauh berbeda. Ketika Wali Songo melakukan tahlil kematian, 3 hari, 7 hari, 40 hari, 100 hari dan 1000 hari, itu adalah untuk mengadaptasikan ajaran Islam pada budaya ajaran masyarakat saat itu. Nah, untuk masa sekarang, di mana masyarakat Indonesia, masyarakat Jawa khususnya, masih melakukan dan melestarikan adat tersebut (di mana adat tersebut tidak ada pada masa Rasulullah) maka itu termasuk perbuatan bid’ah dan melanggar.

Saya tidak hendak membahas tentang dalil tahlilan di sini. Yang menjadi garis besar pesan saya adalah bahwa budaya asimilasi yang ditanamkan oleh Wali Songo yang kemudian dilestarikan oleh sebagian umat Islam, masyarakat NU khususnya, bukanlah garapan dalam waktu singkat. Makasudnya begini, apa yang diajarkan oleh Wali Songo yang salah satu contohnya saya sebutkan di atas berupa keluwesan dalam menghadapi keadaan ini tidak bisa dicapai dalam waktu singkat. Ini adalah budaya yang diturunkan, dijaga, dan terus dilestarikan oleh masyarakat tertentu sehingga menjadi sebuah budaya dan jatidiri.

Maka, saat menghadapi keadaan pandemi seperti ini, masyarakat yang mewarisi sikap keluwesan inilah yang paling siap menghadapinya. Saat yang lain masih ngotot dengan tabligh akbar dan berkumpul untuk berdoa melawan Corona, maka masyarakat luwes ini menggunakan keluwesannya untuk berdoa, yaitu dengan istighotsah online dan diikuti oleh ribuan masyarakat dari rumahnya masing-masing.

Karenanya, jika ada yang bertanya kenapa fenomena umat Islam di Indonesia ini sangat beragam, silahkan baca sejarahnya. Bagaimana latar belakang keislaman masyarakat Padang, Aceh, Jawa Barat, Kalimantan, dan lainnya yang kesemuanya dilatarbelakangi oleh sejarah penyebaran Islam di daerah-daerah tersebut. Ini bukan soal rasialisme kedaerahan. Sebaliknya, dengan kita mengetahui latar belakang dan sejarah keislaman suatu daerah maka kita akan lebih bijak dalam menghadapinya dan tidak akan mudah memberi cap negatif, bahkan harapannya kita bisa menghargai perbedaan-perbedaannya.

Sekian

 

 

 

Leave a comment