Jurnal Ibu

BLOKIR

Akhir-akhir ini saya mulai akrab dengan kata ini. Yang paling gres adalah kejadian malam ini. Seorang teman lama, teman kuliah, teman nongkrong jaman muda tiba-tiba mengirim pesan di messenger, “Aku blokir ya, soalnya ganggu.”

Kejadiannya bermula saat Faza yang sedang pegang HP saya salah pencet stiker di kolom komentar postingannya. Saya tau bahwa dia sedang sensitif karena menunggu ayahnya yang sedang sakit. Sedikit saja kesalahan, bahkan kesalahan yang tidak disengaja tentu akan merusak moodnya. Benar saja FB saya diblokir olehnya dengan terlebih dahulu pamit.

Saya tidak marah, tersinggung, atau melakukan hal yang konyol dengan menjelekkan dia. Memblokir akun media sosial seseorang adalah haknya. Dan saya memahami betul perasaan dia saat ini. Saya kemudian meminta maaf karena ketidaknyamanannya melalui pesan whatsapp, meski permintaan maaf saya hanya dibaca saja. Tidak apa-apa. Bagi saya sendiri, ini adalah pelajaran bagi saya untuk lebih berhati-hati saja.

Kejadian sebelumnya adalah ketika saya memblokir akun seseorang yang saya anggap sebagai toxic people dalam hidup saya. Saya merasa sudah sangat baik kepadanya, selalu memberikan kesempatan dan waktu untuk dia, dan hanya karena kebijakan orang lain (yang memang bisa membuat kebijakan) yang mengakibatkan dia tersisih, saya dijadikan kambing hitam. Nama saya diblokir dari whatsapp dan kemudian diumumkan pula di fecebook bahwa dia yang benar dan orang lain yang salah. Fixed. Orang yang merasa selalu benar, mempunyai ego tinggi, inginnya selalu menjadi nomor satu, dan satu lagi, tidak peduli dengan perasaan orang lain, bagi saya adalah toxic. Saya blokir akun media sosialnya dan kemungkinan juga nomor WA nya juga akan mengikutinya.

Saya jarang mempermasalahkan kesalahan teman. Bahkan ketika saya dijelek-jelekkan di belakang juga saya biarkan. Sejauh saya melakukan hal yang benar, dan tuduhan mereka tidak terbukti, saya akan terus berjalan, bekerja, dan berprestasi. Tapi untuk orang-orang yang suka menghasud, tukang fitnah, adu domba, tiada toleransi untuk mereka.

Mungkin kami masih berada dalam satu lokasi pekerjaan. Tapi rasa ikatan teman itu sudah tidak tersisa. Ketika rasa ikatan itu tidak ada, jangan harap ada perhatian, empati, atau simpati, bahkan dalam doa pun namanya tidak ada.

Lamongan, 29 Maret 2022

Leave a comment