pernikahan

Tentang Cinta, Pernikahan, Perselingkuhan, dan Perceraian

images (7)

Beberapa waktu lalu, saya dibuat tidak tenang sampai berhari-hari. Bahkan hingga saat ini pun, saya masih dibuat tidak nyaman jika mengingat cerita itu, cerita tentang perceraian seorang teman kuliah dengan suaminya.

Bagi saya, perceraian bukan sekedar perpisahan dua insan dalam berumah tangga. Lebih dari itu, perceraian bagi saya adalah babak baru yang dipilih manusia yang kemudian menjadi takdirnya. Kalau semua orang berbahagia atas sebuah pernikahan, maka sebaliknya, perceraian pun akan meninggalkan luka, meski oleh beberapa orang dianggap sebagai jalan keluar menuju bahagia.

Kembali pada cerita perceraian teman saya. Saya tau betul bagaimana perjuangan teman saya mengiringi langkah suaminya hingga meraih karir tertingginya saat ini, menjadi pejabat teras di sebuah kementrian di negeri ini. Si istri harus rela meninggalkan karir dan cita-citanya demi mengasuh ketiga putranya sendiri sementara sang suami meniti karir akademisnya di luar negeri. Tesis sang istri pun terbengkalai karena lahirnya si bungsu dan harus mengurus pendidikan kedua putra lainnya sendiri sementara sang suami fokus pada titian karirnya.

Beberapa bulan lalu, saya melihat nama suami teman saya ini pada selebaran yang sampai di kampus kami. Rupanya beliau sudah menduduki jabatan penting di suatu kementrian yang membawahi kampus kami. Saya yang sama sekali tidak mengetahui kabar rumah tangga teman saya ini kemudian tanpa basa-basi memberinya selamat atas promosi suaminya. Dan sedikitpun teman saya ini tidak membalas ucapan selamat dari saya.

Sampai akhirnya saya tau kenyataannya. Saat saya menyampaikan selamat itu adalah saat-saat terberat yang harus ia lalui. Ia sedang menghadapi masa-masa sidang perceraiannya. Ia yang telah menjalani kehidupan berumah tangga selama hampir seperempat abad itu memutuskan bercerai (dalam ceritanya, ia ditalak oleh suaminya) karena sang suami telah memilih wanita lain yang lebih muda, mantan staf di kantornya.

Selama seharian saya mencari kabar kebenaran itu dari teman-teman lainnya karena saya masih tidak percaya dengan kabar itu. Teman-teman membenarkannya. Saya pun linglung, tidak percaya dengan kabar yang sampai kepada saya. Bagaimana bisa usia kebersamaan yang hampir menuju angka 25 tahun bisa kandas begitu saja dengan datangnya orang ketiga? Apa yang membuat ikatan yang kuat oleh perjalanan waktu kebersamaan bisa putus begitu saja oleh orang ketiga?

Akhirnya saya beranikan diri menyapa teman saya tersebut, meminta maaf karena ketidaktahuan saya. Saya menangis saat menyapanya. Tapi rupanya ia telah tegar dan terkesan santai saja dengan pertanyaan-pertanyaan saya. Saya yakin, ia telah melalui masa-masa sulit itu dan akhirnya ia menjadi pribadi yang seperti sekarang, sangat tegar, meski alasan ketegarannya adalah karena ada si bungsu yang masih belia.

Berhari-hari saya dihantui pertanyaan-pertanyaan seputar perceraian itu. Kenapa ikatan yang terjalin selama hampir 25 tahun itu bisa putus? Bagian mana yang salah?

Saya tau pasti, kesalahan bukan pada teman saya. Saya melihat dia adalah korban. Nyatanya, ketiga anaknya lebih memilih bersama dia daripada ayahnya. Sebagai sesama perempuan, bukti nyata keberpihakan anak adalah penguat ketidakbersalahan ibunya. Bahkan sekarang, si sulunglah yang menjadi topangan hidup sang ibu dan adik-adiknya karena ia tidak bekerja dan mantan suaminya tidak memberi apa-apa pasca kata talak kelaur dari bibirnya.

Sampai akhirnya sebuah tulisan dari seorang psikolog (Teh Fitri Ariyanti) di FB saya baca.

When you fall in love with someone else (PartFour)
Why : Teori “The Mountain Between Us”
.
The Mountain Between Us adlh film yg dibintangi oleh Idris Elba & Kate Winslet, menceritakan 2 orang asing yg mengalami kecelakaan pesawat. Selama bbrp minggu mereka berdua harus survive di pegunungan es, mengalami beragam kondisi kritis, sampai akhirnya regu penolong menemukan mereka.
.
Situasi & pengalaman “intens” selama mereka terdampar membuat tumbuhnya suatu rasa antara mereka berdua. Padahal si perempuan dalam perjalanan menuju pernikahan ketika kecelakaan terjadi. Namun mereka menyadari bahwa sangat mungkin rasa itu “not real”, hanya terkondisikan sesaat dalam situasi intens dimana mereka dalam keadaan “vulnerable”.
Di akhir film ini diceritakan bahwa meskipun setelah selamat mereka tak pernah bertemu lagi, masing2 menjalani kehidupannya, suatu saat mereka bertemu, mereka sadar bahwa sesuatu yg mereka rasakan itu “something real”. Bukan hanya suatu rasa sementara karena situasi.
.
Bagi teman2 yg beraktivitas bersama dalam suatu kegiatan, situasi2 intense bekerja sama dengan orang lain termasuk lawan jenis, sangat mungkin terjadi.
Situasi2 yg intense, biasanya menekan emosi. Saya sendiri pernah beberapa kali di situasi itu. Misal deadline yg ketat & berat, jd panitia event besar/biasanya yg berkaitan sama akreditasi haha
.
Nah dalam situasi yg intense, sering kita berada dalam situasi “vulnerable”. Stress. Sehingga sangat mungkin kita berada dalam frekuensi emosi yg sama dengan lawan jenis rekan kerja kita. Stress bareng, kerasa banget kalau dia bantu, degdegan bareng, kesel bareng, pas dapat info sesuatu yg melegakan, hore2 bareng. Kesamaan frekuensi & berada dalam situasi intense barengan, potensial menumbuhkan suatu rasa.
.
Apalagi kalau kemudian pasangan kita di rumah, gak “ngerti” situasi kita.
Misal kita lagi mumet dgn tekanan2 itu, begadang berhari2, pasangan malah komplen, kesel, ngomelin.
Akhirnya merasa rekan kerja yg lebih paham, karena berada dlm situasi yg sama dgn kita.
Akhirnya mulai ngobrolin, mulai memperhatikan hal2 di luar pekerjaan.
Itulah sebabnya, ada banyak kisah perselingkuhan dengan rekan kerja buat mereka yg self regulation-nya rendah.

Sebagai lanjutannya,

When we fall in love with someone else (PartFive)
Why : Teori “Basic Love Needs” #1
.
Salah satu teori yg saya gunakan dalam disertasi saya adalah teori “basic psychological needs”. Teori itu mengatakan bahwa setiap manusia punya 3 kebutuhan psikologis dasar untuk well-being. Mereka akan terus mencari situasi/kondisi/org yg bisa memenuhi kebutuhan tsb, baik disadari atau tidak. Karena kalau kebutuhan tsb tidak terpenuhi, mereka akan mengalami situasi ill-being.
.
Menganalogikan dgn teori tersebut, saya melihat bahwa saat kita memilih pasangan, kalau proses psikologisnya bener, maka kita akan menghayati, “psychological needs” kita apa. Calon pasangan kita bisa penuhi itu gak. Operasionalisasinya adalah dalam bentuk “kriteria pasangan yg diharapkan”. Sifatnya sangat personal. Ga ada yg salah. Misalnya ada yg kriterianya IPK minimal sekian (ini kisah nyata loh kkk), “berkacamata”, bisa ngegitar, pinter masak, seneng traveling, dari PT xyz, selalu sholat subuh di mesjid, dll dll.
.
Kalau sharing di acara “pranikah” atau akhir2 ini mulai ngobrolin topik ini sama si sulung, saya bilang kriteria apapun yg kita tetapkan is oke. Selera setiap org kan beda2. Justru semakin spesifik, semakin menunjukkan kita kenal diri kita, jadi “kutahu yg kumau”.
Tapi, saya selalu bilang, kriteria2 itu jangan dibikin dalam bentuk list, tapi dalam bentuk lingkaran layer2 gitu. Layer yg dalam, artinya bobotnya lebih besar, prinsip banget, gak bisa diganggu gugat. Layer2 selanjutnya, bergradasi. Mulai dari yg prinsip tapi negotiable, sampai lingkaran luar, yg “ringan & lucu”, yg kalau gak terpenuhi pun akan bikin kita santuy hehe
Dengan kriteria bentuk ini, menyeleksi calon pasangan pun jadi lebih mudah.
.
Pendapat saya diatas, didasari oleh pengalaman banyaknya pasangan yg secara psikologis tidak merasa terpuaskan kebutuhan psikologisnya, karena dulu sebelum nikah gak melakukan proses penghayatan ini.
Jadi disadari atau tidak (banyaknya gak disadari), ketika ketemu someone else yg punya sesuatu yg dibutuhkan secara prinsip (di lingkaran dalam kriteria kita), kita jadi “mudah tergoda”

Dengan membaca teori psikologi ini, saya jadi mengerti kenapa ada perselingkuhan yang berujung perceraian padahal usia pernikahan sudah hampir seperempat abad? Bahwa ada pasangan yang memang mempunyai self regulation yang rendah. Ketika ada yang membuat kesamaan dengan lawan jenis, ia memberi tempat untuk sebuah kenyamanan. Ketika sudah timbul kenyamanan, ia akan memupuknya. Ia tidak peduli lagi dengan pasangannya yang boleh jadi telah bertahun-tahun memberikan kenyamanan, pengorbanan, dan juga kasih sayang tanpa syarat. Self regulation yang rendah.

Kedua, yang bisa menjawab pertanyaan saya adalah teori basic love need. Saya baru memahami teori ini meski dalam kenyataan kehidupan saya, saya telah mengaplikasikannya. Cie…cie..cie…. Basic love need adalah kebutuhan dasar manusia yang diharapkan, baik itu dari kondisi, situasi, atau sesorang sehingga dia merasa well-being. Ini sebenarnya harus sudah selesai saat sebelum keputusan untuk menikah dan ketika kita memilih seseorang. Artinya, ketika kita memilih seseorang untuk menjadi pasangan kita, kita telah mengenal bahwa pasangan kita itulah basic love need kita. Dia adalah apa yang gue pengen banget. Dia adalah tipe gue banget. Ini tidak ada rumusnya dan tiap-tiap orang akan mempunyai kriteria-kriteria tersendiri yang bersifat sangat personal.

Di sinilah saya memahami satu hal lain dalam sebuah pernikahan dan juga perceraian. Saya terkadang berfikir, kenapa si A yang ganteng, kaya, pinter itu menikah dengan perempuan yang biasa-biasa saja? Atau kenapa ya si B yang kaya, cantik, alim, bisa menikah dengan berandal seperti itu? Atau lebih dekat saja, kenapa si abah ini dulu mati-matian menolak dijodohkan dengan seorang sanak yang jauh lebih kaya dan cantik dan lebih memilih saya? Hahaha. Atau saya sendiri kenapa saya bisa memilih si abah sebagai pasangan hidup saya dan sampai saat ini (dan semoga sampai selamanya dan sesudah selamanya) masih setia di samping si abah?

Jawabannya adalah karena kita telah menemukan dan memupuk basic love need kita pada pasangan kita. Kita tidak akan terpesona dengan someone else meskipun mungkin dia jauh lebih ganteng, kaya, sukses, ternama, tersohor, dll dibanding pasangan kita.

Nah, bagaimana dengan pasangan yang mudah berpaling ketika ia menemukan basic love need-nya pada someone else? Saya kira jawabannya ada dua, dia tidak mengenali basic love need-nya dengan baik sejak semula, dan yang pasti, dia adalah pasangan yang mempunyai komitmen yang buruk.

 

5 thoughts on “Tentang Cinta, Pernikahan, Perselingkuhan, dan Perceraian”

  1. Kadang kalau dengar perceraian itu ikut sedih. Apalagi disebabkan perselingkuhan. Dimana salah satu pihak sebenarnya sudah berkorban banyak untuk yang lain. Tapi adakalanya perpisahan itu lebih baik daripada memilih bertahan bersama pasangan yg buruk.

    Like

    1. Iya Mbak. Betul. Mungkin oleh sebagian orang perceraian itu semacam aib. Tapi saya sangat2 menghormati pilihan perempuan untuk bercerai karena alasan perselingkuhan. Perempuan punya hak untuk menentukan ketenangan hidup dan kebahagiaanya.

      Like

Leave a comment